Medianda
– Sahabat medianda Bersyukur memanglah sangat penting bagi siapa saja,
bersyukur dengan segala nikmat yang Allah berikan kepada kita semua, sebab
tidak sedikit sebagian orang yang masih jauh beda dengan kita dalam kondisi
kekurangan. Momen saat murid sekolah dasar menggendong adiknya saat menuntut
ilmu di sekolah bikin haru siapa yang melihatnya. Tidak terkecuali bagi guru
sekolah yang mengajar di daerah terpencil di SD Negeri Puncak Lolomatua,
Kecamatan Ulunoyo, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.
Adalah
Indri Rosidah (21), guru muda asal Kota Bandung, Jawa Barat, sampai mengangis
melihat dua muridnya yang menggendong adik mereka, yang masih balita ke
sekolah.
Indri
yang merupakan Lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mendapat tugas
mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal
(SM3T).
Saat
menjalankan tugasnya di Nias, Indri kemudian mengunggah aktivitas belajar
mengajarnya ke media sosial.
Foto-foto
yang ia unggah menjadi viral sekaligus menjadi perbincangan masyarakat pada
Hari Pendidikan Nasional, Selasa, 2 Mei.
Indri
sudah 8 bulan mengajar di Nias Selatan. Namun yang menjadi perhatian adalah
saat dia menjalankan tugasnya dia menghadapi kenyataan kalau muridnya harus
menggendong adiknya saat belajar.
Murid
SD Negeri Puncak Lolomatua bernama Boisman Gori menggendong adiknya turut serta
belajar di dalam kelas. Sekolah itu berada di daerah dataran tertinggi di Nias
Selatan, Sumatera Utara (TRIBUN MEDAN/HO)
“Saya
cukup sedih melihat keadaan siswa bernama Boisman Gori, yang terkadang belajar
terpaksa bawa adiknya. Dia sangat menyayangi adiknya. Saat saya mengajar, dia
(Boisman) selalu memeluk dan mencium kepala adiknya,” ujarnya, saat dihubungi
Tribun-Medan.com, Selasa (2/5/2017).
Di
saat murid sekolah yang lain fokus belajar dan mendengarkan gurunya, Boisman
harus rela menggendong adiknya hingga lelap tertidur.
Kendati
demikian dia masih bisa mengikuti pelajaran saat adiknya tidur pulas di
pangkuannya. Seperti yang terlihat di dalam foto dia masih bisa mengerjakan
soal matematika.
Namun
di saat yang bersamaan adiknya tertidur.
Indri,
sapaan guru kelahiran 23 Februari 1994 itu menceritakan, Boisman merupakan
siswa kelas V SD, Puncak Lolomatua. Lokasi tersebut merupakan daerah dataran
tertinggi di Nias Selatan.
Tidak
hanya Boisman, lanjutnya, murid perempuannya Latina Ndruru juga sering membawa
adiknya ke sekolah.
Boisman
dan Latina merupakan murid kelas V SD. Bahkan, Indri memberikan perhatian yang
lebih kepada muridnya, Latina.
Ia
menceritakan, Latina, anak ketiga dari tujuh bersaudara, dan balita yang sering
digendongnya ke sekolah merupakan adik bungsunya.
Kehidupan
orangtua Latina juga serba kekurangan, karena mereka tinggal di rumah berlantai
tanah.
“Lantai
rumah orangtua Latina masih tanah. Artinya, tidak gunakan semen sebagaimana
rumah kebanyakan orang. Kemudian dinding rumahnya masih tepas, dan beratap
rumbia. Rumah mereka paling dekat dengan sekolah ini,” katanya.
Sedangkan
rumah Boisman sudah berlantai semen dan beratap seng. Boisman dan Latina
membawa adik mereka ke sekolah, jika orangtua mereka ke ladang, menyadap getah
atau pergi ke pasar.
“Setiap
ibunya pergi ke pekan (pasar yang buka seminggu sekali) atau menyadap getah,
pasti mereka membawa adik mereka ke sekolah. Anaknya penuh kesadaran, dan tabah
hidup dalam keadaan serba kekurangan. Saya terkesima melihat kondisi
siswa-siswi di sini,” ujarnya.
Indri
sempat meneteskan air mata melihat kondisi sekolah di pedalaman Nias Selatan,
yang serba kekurangan dan ketinggalan dibanding sekolah-sekolah di perkotaan. Bahkan,
ruang kelas tempatnya mengajar masih berdinding papan dan beralas tanah.
“Awal
tiba di sini (Puncak Lolomatua) sangat memperihatinkan. Saya tidak bisa menahan
air mata. Saya sedih melihat keadaan sekolah dan fasilitas sekolah,” katanya.
Indri
menambahkan, umumnya murid SDN Puncak Lomatua tidak memakai seragam dengan
rapi. Seluruh murid punya persoalan serupa yaitu tidak punya seragam yang bagus
atau pakaian bersih.
Namun,
muridnya tetap bersemangat belajar, dan saban hari menempuh jarak yang cukup
jauh demi belajar. Bahkan, murid yang memakai sepatu dapat dihitung jari.
“Awalnya,
saya selalu ingatkan para siswa untuk menggunakan sepatu. Namun, melihat
kondisi jalan menuju ke sekolah yang berbatu, saya jadi maklum. Daripada mereka
terjatuh, karena jalan yang licin dan berbantu mending tak gunakan sepatu,”
ujarnya.
Menurutnya,
selama delapan bulan mengajar ikut program SM3T, muridnya aktif dan berani
kotor. Bahkan, saat bermain, para murid berani berguling-guling di tanam.
“Saya
tinggal empat bulan lagi di sini. Agustus 2017 sudah kembali ke Bandung. Jarak
dari kota ke sekolah memang jauh. Dari Telukdalam, Ibu Kota Nias Selatan menuju
sekolah bisa sekitar tujuh jam bila sedang musim hujan,” ujarnya.
Ia
menceritakan, saat tiba di Kantor Bupati Nias Selatan, langsung dipertemukan
dengan kepala sekolah. Setelah itu, ia menempuh perjalanan sekitar dua jam ke
jalan utama yang beraspal. Kemudian, memasuki jalan berbatu.
“Dari
jalan berbatu menuju puncak (lokasi sekolah) jaraknya mencapai 12 kilomater.
Bila memasuki musim hujan, kendaraan tidak dapat melintas, sehingga harus
berjalan kaki lima jam. Tapi, kalau musim kemarau, kendaraan bisa melintas,”
katanya.
Nyaman
di Nias
Indri,
menikmati jadi tenaga pendidik di SDN Puncak Lolomatua, lantaran masyarakat
sangat ramah serta menghormati pendatang yang berbeda suku dan keyakinan.
“Saya
menikmati suasana di sini. Kebetulan saya tinggal di rumah warga dan respons
masyarakat sangat bagus. Saya orang pertama muslim yang tinggal di kampung ini.
Awalnya takut, tapi alhamdulilah, tidak ada kesulitan apapun,” ujarnya.
Delapan
bulan mengajar di Nias Selatan, lanjutnya, sudah memahami bahasa daerah.
Padahal, pertama mengajar ia kelabakan, lantaran banyak murid tidak pandai
berbahasa Indonesia.
Faktor
yang menyebabkan murid, tidak memahami bahasa Indonesia, karena tidak banyak
orangtua yang pandai berbahasa Indonesia.
Orangtua
yang bisa berbahasa Indonesia hanya yang sering ke kota.
Ia
menceritakan, dari puluhan murid kelas V SDN Puncak Lolomatua, hanya tujuh
orang yang lancar berbahasa Indonesia. Karena itu, banyak siswa yang
kebingungan saat Indri menjelaskan pelajaran.
“Agar
murid dapat memahami materi pelajaran di ruang kelas, saya meminta satu murid
yang lancar berbahasa Indonesia jadi penerjemah. Jadi, setiap saya bicara pakai
bahasa Indonesia, murid saya akan kembali menjelaskan kepada teman-temannya
pakai bahasa Niassa Nias,” katanya.
Perempuan
lulusan UPI tersebut menambahkan, selama tinggal di Nias terus berupaya belajar
bahasa daerah. Alhasil, dia sudah bisa berbicara menggunakan bahasa Nias,
meskipun belum mahir.
“Pelan-pelan
saya sudah paham menggunakan bahasa Nias. Sedangkan murid saya, mulai lancar
berbahasa Indonesia,” ujarnya.(tio)
Sumber:Postshare