Medianda
– Sahabat medianda Saat usia Hilal menginjak 2 tahun, aku memutuskan bekerja,
membantu keuangan keluarga mengingat penghasilan suamiku, Saripudin (39), tidak
lebih mencukupi keperluan keluarga
Aku
bekerja di perusahaan pembuat bulu mata palsu, tidak jauh dari rumah kita di
Garut. Setiap pergi kerja, Hilal kutitipkan terhadap ibuku. Di situ, ibuku
kerap memberinya mi instan. Bukan salah ibuku, sih, sebab sebelumnya, aku juga
suka memberinya makanan itu apabila sedang tidak masak.
Nyatanya,
Hilal jadi “tergila-gila” makanan itu. Ia bakal mengamuk dan mogok makan
apabila tidak diberi mi instan. Ya, daripada cucunya kelaparan, ibuku akhirnya
hanya mengalah dan menuruti kemauan Hilal. Lagi pula, kalau tidak diberi, Hilal
tentu bakal membeli sendiri mi instan di warung dekat rumah dengan uang jajan
yang kuberbagi. Praktis, sehari dua kali ia makan mi instan.
Dua
kali dipotong
Kamis,
20 November 2008, Hilal mengeluh sakit perut. Kupikir sakit biasa. Anehnya,
seusai tiga hari, sakitnya tidak kunjung hilang dan ditambah ia tidak bisa
buang air besar. Gara-gara itulah perutnya membesar.
Khawatir,
kubawa Hilal ke mantri dekat rumah. Sebab tetap tidak ada perubahan, kita
kemudian membawanya ke RSU Dr Slamet, Garut. Nyatanya hasil pemeriksaan dokter
lebih menyeramkan dari yang kuduga. Kupikir, lumayan dengan obat pencahar
perut, sakit Hilal bisa segera sembuh. Rupanya tidak segampang itu.
Hasil
tes darah dan rontgen menunjukan, Hilal wajib segera dioperasi sebab berbagai
tahap di ususnya bocor dan membusuk. Ketika kutanyakan apa penyebabnya, dokter
menjawab, dampak dari kandungan makanan yang Hilal konsumsi selagi ini tidak
sehat dan membikin ususnya rusak. Saat itulah kutahu Hilal terlalu tidak jarang
menyantap mi instan. Astagfirullah….
Atas
rujukan dokter, kita kemudian mengangkat Hilal ke RS Hasan Sadikin, Bandung,
dengan argumen peralatan medis di RS itu lebih lengkap. Sejak awal, tim dokter
telah pesimistis dengan kondisi Hilal yang begitu memprihatinkan dengan berat
badan yang tidak hingga 11 kg. Dokter juga bilang, dari puluhan permasalahan
serupa, hanya tiga orang yang bersi kukuh nasib. Aku hanya bisa berserah pada
Allah SWT.
Baru
pada 25 November 2008 operasi diperbuat di RS Immanuel, Bandung. Saat itu aku
sedang hamil tiga bulan. Dokter mengamputasi usus Hilal kurang lebih 10 cm.
Untuk menyatukan tahap usus yang terputus itu, dokter menyambungnya dengan usus
sintetis. Tidak hanya itu, dokter juga membikin celah anus sementara
(kolostomi) di dinding perut sebelah kanan.
Utang
belum lunas
Nyatanya
cobaan kita belum beres hingga di situ. Tiga hari kemudian, dokter menemukan
tetap ada tahap usus yang bocor. Mau tidak mau, Hilal wajib kembali naik ke
meja operasi dan merelakan sebagian ususnya lagi.
Jelas,
aku dan suami sangat ingin Hilal sembuh. Tetapi, di segi lain, penghasilanku
sebagai buruh tidaklah seberapa. Setiap bulan, aku hanya bisa mengangkat pulang
uang Rp 250.000 alias Rp 300.000 kalau lembur. Adapun suamiku penghasilannya
tidak sempat menentu. Maklum, ia hanyakuli kasar di pabrik tahu di Bandung.
Sejak
Hilal jatuh sakit, aku memutuskan berhenti bekerja. Alhasil, suamiku wajib
banting tulang mengerjakan pekerjaan apa pun asal menghasilkan uang. Kendati
telah bekerja begitu keras, rasanya sia-sia saja. Anggaran operasi Hilal yang
mencapai Rp 16 juta terasa begitu besar dan entah kapan bisa dilunasi. Apalagi,
kita hanya punya waktu 10 hari untuk melunasinya. Untung pihak rumah sakit
berbaik hati memberi kelonggaran waktu dua hari jadi kita tetap sempat meminjam
uang ke berbagai keluarga dan tetangga.
Demi
kesembuhan Hilal pula, kita wajib lebih berhemat. Rumah kontrakan kita
tinggalkan dan kita menumpang di rumah orangtuaku. Sebetulnya uang kontrakan
rumah itu tidak terlalu besar, hanya Rp 300.000 per tahun, tapi tetap saja uang
sebesar itu sangat berarti untuk anggaran pengobatan Hilal.
Kata
dokter, kolostomi di perut Hilal telah bisa ditutup seusai tiga bulan. Tetapi,
baru seusai delapan bulan kemudian, cocoknya 23 Juli 2009, operasi penutupan
diperbuat. Apalagi kalau bukan persoalan biaya. Itu pun bisa diperbuat sebab
kita bisa bantuan dari suatu stasiun
televisi swasta sebesar Rp 14 juta.
Soal
utang ke keluarga dan tetangga sebesar Rp 16 juta, entah kapan bisa kita
bereskan. Kepalaku jadi tambah pening bila mengingat, sebentar lagi si sulung,
Panda Erdini (11), bakal masuk SMP.
Sejak
ususnya yang basi dipotong, Hilal tidak lagi merasakan sakit dibagian ususnya.
Celakanya, rasa sakit justru berpindah ke tahap kolostominya. Setiap kali habis
makan, makanan itu tentu langsung keluar melewati celah anus buatan itu. Saat
itulah dinding perutnya merasakan sakit yang menarik. Ia bisa menangis
menjerit-jerit kesakitan.
Belum
lagi plastik yang menempel untuk menampung feses yang penuh dan wajib diganti
dengan yang baru. Double tape yang tidak jarang kali dilepas dan dipasang
membikin kulit perutnya iritasi dan perih.
Apabila
telah tidak bisa menahan sakitnya, Hilal bakal berujar, “Udah Hilal paeh aja!
(Hilal lebih baik mati saja!)” Kadang juga ia berteriak minta maaf terhadap
Allah dan minta disembuhkan sambil mengatupkan kedua tangannya. Kasihan anakku.
Setiap
hari, selagi delapan bulan itu, ia hanya menghabiskan waktunya di tempat tidur.
Hilal hanya sanggup berlangsung berbagai menit sebab apabila terlalu lama ia
tentu langsung merasakan sakit di tahap kolostominya. Setiap malam, ia juga wajib
tertidur dengan paha diangkat menyentuh ke perutnya. Katanya, terasa enak dan
menolong menahan rasa sakitnya.
Kapok
Makan Mi
Supaya
ia tidak merasa bosan di kamar seharian, aku mengalihkan rasa sakitnya dengan
mengajarinya membaca. Awalnya, sih, sekadar membacakan buku-buku cerita
untuknya, tapi lama-kelamaan ia merasa berminat untuk membaca. Aku dan Panda
bergantian mengajarinya. Tidak terasa, saat ini ia telah lancar membaca, lo.
Medianda
terbukti, sebetulnya Hilal anak yang sangat pintar dan aktif. Sebelumnya ia
tidak sempat sakit dan sangat penurut. Tetapi, sejak kelahiran adiknya dua
bulan lalu, Ilham Haki, ia menjadi lebih manja padaku. Ia melarangku
menggendong dan menyusui adiknya. Aku, sih, maklum saja sebab dirinya tetap
sakit dan mungkin takut rasa sayangku direbut oleh adiknya.
Sekarang
Hilal telah bisa berlangsung lagi. Terbukti, sih, tetap sedikit bongkok, tapi
aku yakin dalam waktu dekat ia bisa berdiri dan berlangsung dengan sempurna.
Katanya, ia ingin segera sekolah.
Yang
membikinku lega, sejak sakit itu, Hilal trauma dengan mi instan. Bahkan
menontonnya saja, dirinya seakan tidak sudi. Beda dengan dulu, kini ia sangat
bahagia mengonsumsi makanan sehat, semacam sayur, daging, buah, dan susu. Susu
terbukti dianjurkan dokter untuk menolong membenahi kondisi dan kinerja
ususnya.
Mudah-mudahan
ia bisa segera sembuh dari sakitnya dan menjadi anak yang pintar dan
berprestasi di sekolahnya nanti.
Semoga
bermanfaat.