Medianda – Sahabat media Dalam
berumah tangga, seorang suami berkewajiban untuk menafkahi keluarganya.
Sehingga merupakan hal yang lumrah bila suami lebih banyak yang bekerja bila
dibandingkan dengan wanita. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bila
seorang wanita juga bekerja dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Idealnya seorang suami dan
istri saling bahu membahu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Bila suami
memberikan nafkah, maka sang istri yang mengatur keuangan. Namun, terkadang
nafkah yang diberikan oleh suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sehingga akhirnya sang istri ikut bekerja untuk membantu suami.
Dengan begitu, sang istri akan memiliki penghasilannya sendiri.
Lantas, bagaimanakah hukum
penghasilan istri ? Berhak kah seorang suami untuk mengambil gaji istrinya ?
Dan, wajibkah istri memberikan sebagian penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangganya ? Seperti pertanyaan
salah seorang jamaah dibawah ini
Ustadz, apakah benar jika
harta suami itu milik istri, sementara harta istri miliknya sendiri? Mohon
penjelasannya.
Jawab:
Bismillah was shalatu was
salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, dikutip dari Konsultasi Syariah. Islam
menghargai harta seseorang. Mengakui keabsahannya, selama harta itu diperoleh
dengan jalan halal.
Baik itu harta milik pria
maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang mempunyai hak kepemilikan
penuh terhadap harta pribadinya.
Dalam Al-Quran, Allah
Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri. Seperti yang Allah
ungkapkan terkait aturan pembagian warisan. Karena itu, suami bisa mendapat
warisan dari harta istri, sebaliknya istri juga mendapat warisan dari harta
suami.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“Kalian
wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika
istrimu itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat dan sesudah dibayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun,
jika kamu mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan. (QS. An Nisa: 12)
Dalam ayat di atas, Allah
Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Sehingga saat meninggal,
ada yang diwariskan untuk keluarganya. Si suami baru berhak menguasai harta
istrinya sebagai warisan, setelah istrinya meninggal. Itupun dalam jumlah
tertentu yang ditetapkan syariat. Demikian pula istri. Dia berhak mendapat
bagian warisan dari harta suaminya, dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
syariat.
Sahabat medianda adanya
saling mewarisi antara suami dan istri, menunjukkan bahwa apa yang dimiliki
suami tidak otomatis menjadi milik istri dan sebaliknya. Masing-masing memiliki
hak atas harta yang mereka miliki. Jika semu harta yang masuk ke dalam rumah
menjadi milik bersama, tentu tidak ada aturan masalah warisan.
Lalu apa hak istri?
Jika istri tidak bekerja,
lalu apa hak istri untuk mencukupi kebutuhan?
Istri punya hak untuk
mendapatkan nafkah dari suami. Nafkah dengan nilai yang layak untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Namun suami tidak berkewajiban memberi lebih dari nafkah.
Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Lelaki itu menjadi
pemimpin bagi para istrinya, disebabkan Allah memberikan kelebihan bagi mereka
dan karena mereka memberikan nafkah kepada istrinya dari harta mereka. (QS.
an-Nisa: 34)
Boleh saja suami
menyerahkan seluruh uang penghasilannya kepada istri untuk dikelola demi
mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, perlu diingat bahwa harta tersebut adalah
tetap dalam hitungan kepemilikan suami. Istri hanya sekedar pengelola. Oleh
karena itu, istri harus berusaha maksimal dalam memegang amanah, tidak boleh dipergunakan
di luar batas kebutuhan kecuali atas izin dari suaminya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingatkan keberadaan istri sebagai pengemban amanah di
rumah suaminya,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، …
، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Kalian semua adalah
penanggung dan akan ditanya tentang apa yang dia pertaggung jawabkan… wanita
menjadi penanggung jawab di rumah suaminya, dan dia akan ditanya tentang apa
yang dia pertanggung jawabkan…(HR. Bukhari 2409)
Saat istri menjadi ratu di
rumah suaminya, dia bertanggung jawab untuk menjaga harta suami yang ada di
rumahnya. Terutama saat suami sedang pergi. Meskipun harta itu di luar
kepemilikan istri. Allah berfirman menyebutkan ciri wanita sholihah,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Wanita shalihah ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, untuk sesuatu
yang dipelihara oleh Allah. (QS. an-Nisa: 34)
Ibnu Katsir menyebutkan
keterangan ahli tafsir, Imam as-Sudi, dia menjaga dirinya, kehormatannya dan
harta suaminya, ketika suaminya tidak ada di rumah. (Tafsir Ibnu Katsir,
2/293).
Dalam hadis dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا
Sebaik-baik istri adalah
wanita yang jika suaminya melihatnya, menyenangkan suaminya, jika diperintahkan
suaminya, dia mentaatinya, dan jika suaminya jauh darinya, dia bisa menjaga
kehormatan dirinya dan hartanya. (HR. Thayalisi 2444 dan al-Bazzar 8537).
Demikian, penjelasan
mengenai masalah harta suami dan harta istri, semoga bermanfaat.
Sumber:Islampos